Sabtu, 19 Februari 2011

Perkembangan Republik Indonesia Dari Tahun 1969-1974


Tahun 1969 bisa dikatakan sebagai masa akhir transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Inflasi akhirnya benar-benar dapat dikendalikan.Tak dapat disangkal bahwa salah satu pilar keberhasilan rezim ini adalah interaksi mereka dengan sistem ekonomi internasional yang kapitalistik. Selanjutnya Orde Baru mulai memfokuskan perhatian utamanya dari stabilisasi ekonomi menuju pembangunan dengan menetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I), untuk tahun 1969-1974. Di tahun yang sama, Orde Baru juga telah mampu menyelesaikan masalah lama dengan bergabungnya Irian sebagai provinsi ke-26 RI. Bergabungnya Irian ke pangkuan Indonesia amat direspon positif oleh pihak Barat terutama Amerika yang telah bersiap untuk mengeksploitasi SDA di wilayah itu. Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemerintahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer.
Stabilitas ekonomi yang telah diperoleh Orde Baru selanjutnya mulai melahirkan demokrasi dengan gaya otoriterianisme. Semua hal seolah dituntut ke dalam ide pembagunan ekonomi. Stabilitas politik diprioritaskan pada awal Orde Baru karena pengalaman ketidakstabilan sistem politik demokrasi liberal pada kurun waktu 1945-1959, bahkan juga dalam periode demokrasi terpimpin 1959-1966. Sistem politik di bawah Orde baru secara tegas diterapkan dalam konsep integralisme total. Hasilnya Soeharto tidak menginginkan adanya tempat bagi oposisi gaya Barat di alam demokrasi Pancasila. Menjelang Pemilihan Umum 1971 sangat terlihat bahwa Soeharto ingin menjadikan Golkar sebagai pemenang dalam ajang tersebut. Hal ini jelas terlihat ketika persiapan menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum, banyak dari pegawai pemerintah yang diarahkan untuk mendukung dan memenangkan Golkar di daerah pemilihan mereka. Golkar yang pada saat itu tidak ingin disebut sebagai partai politik akhirnya memperoleh kemenangan besar yaitu 63,8 % suara pemilih.
Orde Baru kemudian menjadi rezim yang sungguh sentralistik, terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas ekonomi dan politik. Secara perlahan Soeharto mulai memasung hak-hak politik rakyatnya dengan ketat. Orde Baru juga mengisolasi masyarakat melalui perundang-undangan dan keputusan yang memungkinkan pembatasan bagi kegiatan organisasi massa. Soeharto amat gigih untuk menciptakan sistem politik terbaru demi mengatasi keragaman pandangan yang memecah belah iklim politik di tanah air. Dengan tegas, Soeharto menolak ide mengenai persaingan ideologi, baginya model politik yang demikian tidak cocok untuk Indonesia. Di lain pihak, masyarakat semakin hari semakin terasingkan dari lingkaran kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Media massa sebagai wadah kekuatan informasi yang strategis pun dikebiri oleh pemerintah dan diposisikan menjadi kolaborator struktural bagi negara. Bagi beberapa pengkritik, seperti Goenawan Mohamad, “Kita membutuhkan suatu pemerintah pembangunan yang kuat, tapi tak boleh dilupakan, bahwa kekuatan itu juga harus ditunjukan oleh penguasa sendiri, antara lain dengan bersikap tenang menanggapi kritik”.
Munculnya Angkatan Darat ke posisi dominan yang tak tertandingi dalam pemerintahan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak terhindirkan. Sebagaimana diketahui, dalam doktrin TRI UBAYA GAKTI hasil seminar TNI-AD I, untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin Dwifungsi ABRI. Bagaimana ABRI memandang peran politisnya bisa diperoleh dari penafsiran militer atas Pancasila sebagai ideologi “integralistik”. Para perwira senior menyatakan bahwa karena budaya Indonesia itu “integralistik”, maka peran sosiopolitis ABRI yang permanen bisa dibenarkan. Selanjutnya Soeharto sangat selektif dalam memelih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria “elite militer”, muncul nama-nama seperti Ali Moertopo, Soedjono Humardani, Soedomo, Sutopo Juwono, dan Soemitro dalam jajaran pemerintahan elite negeri ini. Tak jarang terjadi konflik dalam tubuh pemerintahan Soeharto akibat penumpukan para petinggi militer yang ia ciptakan sendiri.
Persaingan faksi militer di dalam pemerintahan terbawa sampai ke urusan publik, terutama mengenai penanaman modal Jepang di Indonesia. Jepang mengambil 53% ekspor Indonesia pada tahun 1973 (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok lebih dari 29% impor Indonesia. Di samping itu, Jepang lebih menonjol karena investasi mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi para pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia, dibantu oleh orang yang dekat dengan istana kepresidenan. Kritik dilontarkan terutama kepada Ali Moertopo dan salah satu kolega terdekat Soeharto lainnya yaitu Mayjen. Sudjono Humardani. Keduanya dianggap sebagai penasihat kebijakan Presiden dan juga perantara bagi para investor asing (terutama Jepang) yang mencari kebaikan hati pemerintah.
Kedatangan PM Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada Januari 1974 dijadikan momentum bagi para Mahasiswa untuk demonstrasi menolak masuknya modal asing. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan Mahasiswa tidak berhasil menorobos masuk pangkalan udara tersebut. Hal tersebut menimbulkan kemarahan para Mahasiswa dan puncaknya menimbulkan kerusuhan serta huru – hara di Jakarta. Bagi Soeharto kerusuhan Malari telah mecoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan tamu Negara, PM Jepang. Banyak opini yang berkembang bahwa peristiwa kerusuhan tersebut hanyalah persaingan faksi ditubuh elite militer. Rivalitas utama terjadi antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Presiden Soeharto sendiri pada saat itu lebih cenderung merapat kepada kubu Ali Moertopo sang anak emasnya. Hal ini terbukti dengan pencopotan Soemitro sebagai Pangkomkabtib dan didepaknya Sutopo Juwono dari kepala Bakin.
Rasa tidak puas masyarakat terhadap rezim Orde Baru mulai merebak di pertengahan tahun 1970-an. Kritik yang muncul ketika itu mengenai kebijakan pembangunan yang menurut mereka terlampau kapitalistik dan hanya pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan. Demokrasi dalam kehidupan bernegara juga ditekan oleh pemerintah yang cenderung semakin otoriter. Pers dan media massa dibatasi perannya lewat kebijakan pembreidelan. Masyarakat ditakuti-takuti oleh aparat keamanan terutama militer yang telah menguasai seluruh kehidupan sipil, lalu teror yang sering dilakukan terhadap kaum intelektual di berbagai kampus.
Selanjutnya semua hal ini mejadi sebuah sikap status quo yang amat dinikmati oleh Soeharto beserta pembantu-pembantunya dalam tahapan menuju kekuasaan yang terus mereka pegang selama puluhan tahun berikutnya.

http://sejarahunj.blogspot.com/2010/10/orde-baru-pengorbanan-demokrasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar